Immovesting – Awal pekan ini, rupiah kembali tertekan dan diperdagangkan pada level Rp 16.634 per dolar AS. Angka tersebut melemah sekitar 0,20 persen dibandingkan posisi penutupan sebelumnya di Rp 16.601. Kondisi ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap mata uang Garuda belum mereda, meski otoritas moneter terus berupaya menjaga stabilitas pasar. Investor mencermati Rupiah yang terjun bebas sebagai sinyal bahwa faktor fundamental dalam negeri dan gejolak eksternal semakin sulit ditahan.
Arus modal asing cenderung keluar, sementara permintaan dolar meningkat akibat kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri. Pasar juga menilai langkah-langkah pemerintah belum cukup meyakinkan untuk meredam gejolak.
Dari sisi internal, pelemahan rupiah dipicu oleh kebijakan fiskal yang ekspansif. Pemerintah menyalurkan dana stimulus besar-besaran, termasuk program bantuan sosial dan proyek strategis. Kebijakan ini memang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi di mata investor menimbulkan kekhawatiran terhadap lonjakan defisit anggaran.
Selain itu, Bank Indonesia turut menurunkan suku bunga acuan dan beberapa instrumen pendukungnya. Kebijakan moneter longgar ini diharapkan memberi ruang bagi dunia usaha untuk tumbuh. Namun, imbasnya adalah imbal hasil aset rupiah menjadi kurang menarik dibandingkan instrumen dolar, sehingga aliran modal asing lebih condong keluar dari pasar domestik.
Baca Juga : DPR Dorong Usulan Tax Amnesty, Menkeu Purbaya Tegas Menolak Demi Jaga Kepatuhan Pajak
Dari luar negeri, faktor global juga menambah beban bagi rupiah. Dolar AS menguat setelah pasar menilai kebijakan The Fed masih cenderung ketat atau setidaknya tidak terlalu longgar. Sikap ini membuat investor global kembali mencari perlindungan pada aset dolar yang dianggap lebih aman dan stabil.
Di saat yang sama, ketidakpastian global akibat perang Rusia-Ukraina, konflik di Timur Tengah, hingga fluktuasi harga komoditas memperburuk situasi. Negara-negara berkembang seperti Indonesia pun terkena dampaknya karena dianggap lebih berisiko. Akibatnya, rupiah kembali terjun bebas ke zona pelemahan tanpa banyak penahan.
Beberapa faktor utama yang kini dianggap mempercepat pelemahan rupiah dapat dirangkum sebagai berikut:
Simak Juga : BMKG Ungkap Fakta Mengejutkan di Balik Rentetan Gempa di Sukabumi
Pelemahan rupiah ke atas Rp 16.600 per dolar AS membawa konsekuensi nyata bagi perekonomian. Pertama, biaya impor barang modal dan bahan baku meningkat, sehingga perusahaan dalam negeri menghadapi tekanan biaya produksi. Kenaikan biaya ini berpotensi mendorong harga barang konsumsi naik dan memicu inflasi yang lebih tinggi.
Kedua, sektor swasta dengan utang berdenominasi dolar akan menghadapi beban keuangan lebih berat. Biaya cicilan dan bunga meningkat, mempersempit margin keuntungan dan bisa menekan daya tahan perusahaan. Ketiga, masyarakat umum juga merasakan imbas melalui kenaikan harga produk impor seperti elektronik, obat-obatan, serta pangan tertentu.
Ke depan, stabilitas rupiah akan sangat bergantung pada sinergi kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah perlu menjaga disiplin anggaran agar defisit tidak membengkak berlebihan. Di sisi lain, Bank Indonesia diharapkan tetap berhati-hati dalam menentukan arah suku bunga agar tidak membuat investor semakin enggan menahan aset rupiah.
Selain itu, langkah diplomasi ekonomi internasional juga diperlukan untuk memperkuat kepercayaan pasar. Dengan memperluas kerja sama dagang, menjaga pasokan komoditas, serta memberikan kepastian regulasi, Indonesia bisa mengurangi dampak eksternal. Namun, bila ketidakpastian global terus berlanjut, maka rupiah akan tetap berada dalam posisi rawan.
Artikel tentang Rupiah Terjun Bebas ditulis ulang oleh : Ayu Azhari | Editor : Micheal Halim
Sumber Informasi : Liputan6.com