Immovesting – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat lonjakan signifikan pada utang paylater yang dikelola sektor perbankan. Hingga Juli 2025, jumlahnya telah menembus Rp 24,05 triliun, naik dibandingkan posisi Juni 2025 yang berada di angka Rp 22,99 triliun. Angka ini juga mencerminkan pertumbuhan tahunan sekitar 33,56 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Kenaikan ini menandakan bahwa paylater semakin menjadi pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan konsumsi. Skema beli sekarang bayar belakangan dianggap praktis, terutama bagi generasi muda yang ingin mendapatkan barang atau jasa dengan cepat tanpa harus menunggu tabungan terkumpul. Namun, OJK mengingatkan bahwa tren ini bisa menjadi ancaman jika tidak dibarengi dengan kesadaran finansial.
Bersamaan dengan meningkatnya jumlah utang, jumlah rekening aktif paylater di sektor perbankan juga terus naik. OJK melaporkan ada sekitar 28,25 juta rekening pada Juli 2025, naik dari 26,96 juta rekening pada bulan sebelumnya. Lonjakan ini menandakan bahwa semakin banyak masyarakat yang menggunakan layanan paylater, baik untuk transaksi daring maupun pembelian langsung di merchant.
Meski jumlahnya terlihat sangat besar, porsi kredit paylater terhadap total kredit perbankan nasional masih relatif kecil, yaitu sekitar 0,30 persen. Walau demikian, perkembangan yang pesat membuat OJK menaruh perhatian khusus. Paylater dinilai dapat memengaruhi pola konsumsi masyarakat, bahkan berisiko menciptakan beban utang baru jika tidak dikelola dengan bijak.
Baca Juga : Penjualan Turun, Laba Gudang Garam Merosot Tajam di Semester Pertama 2025
Untuk memahami skala dan pertumbuhan paylater di Indonesia, berikut beberapa poin penting yang dirangkum dari laporan OJK dan data lembaga keuangan:
Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun porsi paylater kecil terhadap kredit total, pertumbuhannya yang agresif menjadikannya fenomena baru dalam sistem keuangan Indonesia.
Jika dibandingkan dengan kredit perbankan secara keseluruhan, posisi paylater memang masih kecil. Total kredit bank per Juli 2025 mencapai Rp 8.043 triliun, dengan pertumbuhan 7,03 persen secara tahunan. Sektor investasi tumbuh paling tinggi sebesar 12,42 persen, diikuti kredit konsumsi 8,11 persen, dan kredit modal kerja sebesar 3,08 persen.
Meski demikian, laju pertumbuhan utang paylater jauh lebih tinggi dibanding rata-rata kredit perbankan. Hal ini menandakan bahwa layanan paylater memiliki daya tarik besar dan kemungkinan akan terus tumbuh, terutama karena didorong oleh digitalisasi layanan keuangan serta perilaku konsumtif masyarakat.
Fenomena meningkatnya utang paylater membawa tantangan besar dalam hal literasi keuangan. Banyak pengguna yang belum sepenuhnya memahami konsekuensi jangka panjang dari penggunaan fasilitas ini. Cicilan yang terlihat ringan sering kali menjerumuskan konsumen untuk mengambil lebih banyak pinjaman daripada kemampuan mereka membayar.
OJK mengingatkan pentingnya edukasi agar masyarakat menggunakan utang paylater secara bijak. Paylater sebaiknya digunakan hanya untuk kebutuhan produktif atau pembelian yang benar-benar mendesak. Tanpa kesadaran ini, pengguna bisa terjebak dalam lingkaran utang yang sulit dilepaskan, yang pada akhirnya bisa memengaruhi stabilitas keuangan pribadi maupun sistem keuangan secara luas.
Simak Juga : Ekspor Indonesia ke GCC Tembus US$4 Miliar, Tren Berlanjut
Alih-alih ditutup dengan kesimpulan, menarik untuk melihat bagaimana fenomena ini akan berkembang ke depan. Dengan meningkatnya jumlah pengguna dan nilai transaksi, paylater akan semakin menjadi bagian dari gaya hidup finansial masyarakat. Namun, kehadirannya juga akan mendorong lembaga keuangan dan regulator untuk memperketat pengawasan agar tidak menimbulkan masalah serius di masa depan.
Bisa jadi, dalam beberapa tahun ke depan, paylater akan memiliki regulasi yang lebih ketat, baik dalam penentuan bunga, biaya layanan, maupun mekanisme perlindungan konsumen. Jika dikelola dengan baik, paylater bisa menjadi solusi keuangan yang membantu masyarakat. Namun jika tidak, fenomena ini berpotensi menjadi masalah besar bagi stabilitas ekonomi.