Immovesting – Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah menegaskan bahwa pemberian subsidi tanah seharusnya menjadi fokus utama dalam kebijakan perumahan nasional, bukan hanya pada kredit. Ia meyakini, melalui pendekatan ini, harga rumah baik tapak maupun vertikal bisa ditekan secara signifikan dan lebih terjangkau untuk masyarakat luas.
Menurut Fahri, kebijakan subsidi tanah memberikan kendali lebih kuat bagi negara dalam menekan harga hunian. Di berbagai negara, elemen utama dalam skema subsidi justru terletak pada tanah, bukan pembiayaan. Dengan mengendalikan harga dan zonasi melalui subsidi tanah, pemerintah dapat memastikan pembangunan rumah lebih sesuai dengan kepentingan publik, bukan semata-mata untuk keuntungan pengembang.
Fahri menyampaikan bahwa pengelolaan tanah oleh negara merupakan kunci dalam menurunkan harga rumah secara drastis. Bahkan, menurutnya, jika tanah telah dikuasai dan dikonsolidasikan oleh negara, rumah dapat dijual dengan harga rendah, atau bahkan bisa digratiskan setelah masa cicilan lunas. Hal ini juga akan mendorong penyediaan hunian vertikal yang terjangkau melalui skema sewa jangka panjang.
Baca Juga : Penyaluran BSU 2025 Tersalur 91% Termasuk Wilayah 3T
Pemerintah melalui skema Public Service Obligation (PSO) juga didorong untuk mengalokasikan subsidi secara langsung pada pengadaan tanah. Melalui langkah ini, harga rumah tapak dapat dipangkas hingga 50 persen. Sementara itu, untuk hunian vertikal seperti apartemen bersubsidi, potongan harga bisa mencapai 20 hingga 40 persen. Kebijakan ini diyakini akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat terhadap hunian yang layak.
Lebih lanjut, Fahri menyampaikan bahwa pendekatan ini tidak akan menghilangkan peran pasar. Justru, pendekatan berbasis pasar tetap diperlukan, namun negara hadir untuk memberikan intervensi strategis melalui subsidi tanah. Aset tanah milik negara, termasuk milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi pengendalian harga rumah.
Dalam implementasinya, Fahri mengusulkan agar Perum Perumnas berperan sebagai lembaga off-taker yang bertugas menjalankan fungsi serupa dengan Bulog di sektor pangan. Dengan demikian, lembaga tersebut dapat menjaga kestabilan pasokan rumah rakyat dan memastikan keberlanjutan penyediaannya.
Fahri juga menyinggung tentang besarnya backlog perumahan yang saat ini mencapai 15 juta keluarga. Menurutnya, angka tersebut menunjukkan potensi pasar yang sangat besar dalam sektor perumahan rakyat. Oleh karena itu, negara tidak perlu lagi fokus pada aspek pemasaran, melainkan harus segera membangun sistem dan institusi yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut secara efektif dan berkelanjutan.
Ia juga menyoroti pentingnya percepatan realisasi penambahan kuota program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang semula hanya mencakup 166 ribu unit, namun kini akan ditingkatkan menjadi 200 ribu unit untuk periode 2024. Program ini dinilai penting untuk mendukung ketersediaan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pada akhirnya, Fahri kembali menegaskan bahwa arah kebijakan subsidi perumahan nasional harus mengalami perubahan mendasar. Negara perlu meninggalkan pendekatan yang berpusat pada pembiayaan, dan beralih pada kontrol terhadap sumber daya tanah sebagai fondasi utama pembangunan perumahan. Dengan begitu, kebijakan perumahan akan lebih adil, efisien, dan menyentuh kebutuhan riil masyarakat luas. Hal ini khususnya kelompok yang selama ini kesulitan mengakses rumah layak huni.
Melalui intervensi yang tepat pada sektor tanah, negara diyakini dapat membangun sistem perumahan yang tidak hanya terjangkau.. Tetapi juga berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan rakyat.