Immovesting – Pada akhir Agustus 2025, banyak pelaku usaha lokal yang terkejut saat fitur TikTok Live tiba-tiba tidak dapat digunakan. Selama ini, fitur siaran langsung telah menjadi tulang punggung penjualan harian, terutama bagi brand fashion. Eras Pragitha, pendiri Gamaleea, mengungkapkan bahwa fitur menghilang sekitar pukul sembilan malam dan seketika memengaruhi arus transaksi. Baginya, konsumen TikTok berbeda dari pengguna marketplace lain, karena pembelian lebih sering didorong oleh interaksi spontan di live streaming.
Cerita serupa datang dari Siti Zahra, pemilik Dyalodya. Ia mengeluh melalui media sosial bahwa omzet timnya langsung berhenti ketika siaran ditutup mendadak. Padahal, enam host sudah dipersiapkan untuk sesi malam itu, bertepatan dengan periode awal bulan yang biasanya ramai. Situasi ini membuat banyak pelaku usaha kecil dan menengah merasa tidak berdaya, karena saluran utama mereka untuk menjangkau pelanggan mendadak hilang tanpa kepastian.
Kekuatan TikTok Live selama ini terletak pada pola konsumen yang cenderung reaktif terhadap konten yang ditampilkan. Berbeda dengan marketplace, di mana pembeli biasanya mencari produk dengan tujuan spesifik, di TikTok konsumen sering kali membeli karena tertarik dengan interaksi langsung, diskon mendadak, atau promosi unik yang dibawakan host. Hilangnya fitur Live berarti hilangnya momentum transaksi impulsif yang menjadi ciri khas platform tersebut.
Eras menambahkan bahwa meskipun marketplace lain tetap memberikan penjualan, skalanya tidak sebanding dengan hasil live streaming. Algoritma TikTok yang mampu mendorong konten ke target audiens luas membuat siaran langsung memiliki nilai lebih dibandingkan kanal lain. Migrasi ke platform lain memang memungkinkan, namun membutuhkan strategi baru, investasi waktu, serta penyesuaian terhadap karakteristik pengguna yang berbeda.
Baca Juga : PT Pos Indonesia Genap 279 Tahun, Mantap Jadi BUMN Tertua
Bagi brand seperti Gamaleea, penutupan fitur ini memengaruhi sepertiga dari sumber pendapatan mereka. Dyalodya pun merasakan kerugian besar karena kehilangan momentum di saat yang paling ramai. Kamila Wardrobe, yang biasanya mendapatkan 60% omzet dari TikTok Live, melaporkan bahwa upaya beralih ke Shopee belum mampu menutupi kehilangan tersebut.
Devi Septrianingsih, pemilik Deav Hijab dan Koncoturu, menyebut timnya terbiasa menyiarkan live hampir sepanjang hari. Kini, mereka hanya mengandalkan event offline dan iklan feed TikTok, namun hasilnya jauh dari memuaskan. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan besar pada satu fitur dapat mengakibatkan kerugian mendadak ketika kebijakan platform berubah.
Untuk bertahan, para pemilik brand fashion mencoba mencari alternatif. Beberapa strategi yang muncul di lapangan antara lain:
Langkah-langkah ini membuktikan adanya upaya adaptasi, meski tidak semua brand mampu pulih secepat yang diharapkan.
Simak Juga : Tarif Nol Persen dari India Dinilai Terlambat, AS Tetap Tekan dengan Sanksi
Kasus penutupan TikTok Live memberikan pelajaran berharga tentang rapuhnya ketergantungan pada satu platform digital. Brand fashion lokal kini sadar bahwa mereka perlu membangun strategi penjualan multi-kanal, agar tidak kembali terjebak pada risiko serupa. Diversifikasi melalui marketplace lain, media sosial, hingga toko offline menjadi solusi jangka panjang yang harus diperkuat.
Lebih jauh lagi, peristiwa ini menekankan pentingnya membangun basis pelanggan yang loyal di luar kendali algoritma platform besar. Dengan komunitas konsumen yang kuat, brand akan lebih tahan terhadap guncangan kebijakan digital. Pada akhirnya, keberlanjutan usaha lokal tidak hanya ditentukan oleh tren teknologi, tetapi juga oleh kemampuan adaptasi dalam menghadapi ketidakpastian.