Immovesting – Lebih dari satu dekade lalu, Motorola mencoba langkah berani dengan merakit ponsel pintar Moto X langsung di Amerika Serikat. Melalui kampanye bertajuk “Buatan AS”, perusahaan ini berupaya menyaingi dominasi raksasa teknologi seperti Apple dan Samsung. Saat itu, Motorola berada di bawah kepemilikan Google dan ingin memanfaatkan sentimen nasionalisme konsumen Amerika.
Dennis Woodside, yang menjabat sebagai CEO Motorola ketika proyek Moto X berlangsung, menyebut bahwa ada pasar tersendiri yang mendukung produk lokal. Menurutnya, sejumlah pelanggan mengaku lebih tertarik membeli produk apabila dibuat di dalam negeri.
Moto X diluncurkan pada tahun 2013. Salah satu nilai jual utamanya adalah fitur kustomisasi yang memungkinkan konsumen memilih warna tombol dan panel belakang. Lokasi pabrik yang dekat dengan pasar Amerika mendukung fleksibilitas ini. Meski begitu, sebagian besar komponen penting seperti layar dan baterai tetap diimpor dari Asia. Hal ini membuat biaya produksi membengkak, sementara permintaan pasar tidak sesuai harapan. Hanya sekitar 500.000 unit Moto X yang terjual pada kuartal ketiga 2013, jauh dari target perusahaan.
Baca Juga : Subsidi Tanah Lebih Efektif, Harga Rumah Bisa Turun 50%
Woodside mengakui bahwa tingginya biaya menjadi tantangan utama. Selain itu, rantai pasokan yang tidak terintegrasi menyulitkan proses produksi. Dalam pandangannya, membangun sistem produksi ponsel di AS bukan hanya soal lokasi, tetapi juga tentang kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia.
Salah satu kendala paling besar adalah keterbatasan tenaga kerja terampil. Pekerja di Amerika umumnya tidak terbiasa menangani ratusan komponen kecil seperti chip dan kamera ponsel. Banyak dari mereka memilih bekerja di sektor lain seperti ritel atau industri makanan cepat saji. Woodside mengungkapkan bahwa mereka tidak menyadari bahwa pekerjaan merakit ponsel membutuhkan keahlian khusus yang tidak umum dimiliki tenaga kerja lokal.
Permasalahan ini masih berlangsung hingga kini. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan sektor manufaktur AS kehilangan sekitar 11.000 pekerjaan antara Juni hingga Juli 2025. Sementara itu, survei dari Cato Institute pada Agustus 2024 mengungkap bahwa mayoritas warga Amerika tidak berminat bekerja di pabrik.
Dalam konteks kebijakan, pemerintah AS saat ini kembali menekan perusahaan teknologi untuk memproduksi perangkat mereka secara lokal. Presiden Donald Trump mendorong Apple dan Samsung agar memindahkan manufaktur ke Amerika Serikat atau bersiap menghadapi tarif impor tinggi. Mulai 12 Agustus, produk dari Tiongkok akan dikenai tarif tambahan. Sementara India akan menghadapi tarif 25% pada 7 Agustus.
Meski begitu, Woodside menilai bahwa kebijakan tarif saja tidak cukup. Ia menekankan pentingnya menciptakan proposisi nilai yang kuat bagi pekerja serta memanfaatkan otomatisasi secara cerdas. Tanpa efisiensi biaya dan daya saing harga, produksi lokal akan sulit berkembang.
Tiongkok menjadi contoh negara dengan keunggulan di sektor manufaktur. Pada 2023, negara ini memiliki sekitar 123 juta tenaga kerja di bidang tersebut. Foxconn, yang menjadi mitra utama Apple, mampu memproduksi hingga 350 unit iPhone per menit di fasilitas mereka di Zhengzhou. India juga mulai mengejar ketertinggalan. Saat ini, negara tersebut menjadi eksportir ponsel pintar terbesar ke Amerika, seiring langkah Apple mengurangi ketergantungan pada Tiongkok.
CEO Apple, Tim Cook, pernah menyatakan bahwa Tiongkok memiliki kombinasi keahlian teknis, kemampuan robotika, dan pendidikan teknologi yang menjadikannya unggul. Sebaliknya, sistem pendidikan vokasi di AS dinilai belum memadai untuk menghasilkan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar.
Pengalaman Motorola dalam merakit Moto X di AS menjadi pelajaran berharga. Produksi lokal bukan hanya soal patriotisme atau tekanan pemerintah, melainkan soal kesiapan ekosistem industri secara menyeluruh. Tanpa dukungan sumber daya manusia, infrastruktur, dan efisiensi biaya, cita-cita produksi ponsel di dalam negeri masih akan menjadi tantangan besar di masa mendatang.
Simak Juga : Inovasi Lantai Rumah: Nyaman di Bawah, Memukau di Atas