Golongan Baru Cukai Rokok Dinilai Kontraproduktif oleh CISDI

Immovesting – Wacana penambahan Golongan Baru Golongan III untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) dalam struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, terutama dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Mereka menilai langkah tersebut tidak sejalan dengan tujuan utama pengendalian konsumsi rokok dan optimalisasi penerimaan negara.

Penambahan golongan baru dapat memperparah fenomena downtrading

Menurut CISDI, penambahan golongan baru justru berpotensi memperparah fenomena downtrading, yakni peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah. Fenomena ini sudah menjadi tantangan besar dalam sistem cukai yang ada. Ketika harga rokok yang lebih murah menjadi pilihan, dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat pun semakin besar. Selain itu, hal ini juga dapat menggerus pendapatan negara serta membuka peluang lebih besar bagi peredaran rokok ilegal.

Beladenta Amalia, Project Lead Tobacco Control di CISDI, menegaskan bahwa penambahan golongan SKM menjadi Golongan III adalah langkah yang kontraproduktif. Struktur tarif CHT saat ini sudah memiliki delapan layer atau tingkatan tarif. Menambah satu layer lagi menjadi sembilan dinilai tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Justru, penambahan tersebut dapat membuat sistem cukai semakin rumit dan mengurangi efektivitas kebijakan pengendalian rokok.

Baca Juga : Prioritas Bisnis Indonesia Menurut Riset Bank DBS 2025

Beladenta menjelaskan bahwa kompleksitas struktur tarif yang berlebihan akan memberikan lebih banyak opsi harga kepada konsumen rokok. Dengan kata lain, konsumen akan lebih mudah beralih ke produk yang lebih murah karena adanya variasi harga yang lebih banyak. Kementerian Keuangan sendiri telah mengungkapkan kekhawatiran terhadap fenomena downtrading ini, yang sejatinya mengurangi pendapatan negara dari cukai.

Struktur tarif yang rumit menyulitkan pengawasan Bea Cukai

Lebih lanjut, rokok dengan harga lebih murah memiliki tarif cukai yang rendah. Hal ini jelas akan berdampak pada penurunan penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau. Penurunan pendapatan tersebut bukan hanya masalah fiskal, tetapi juga menghambat kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pengendalian konsumsi rokok yang efektif.

Selain masalah penerimaan negara, struktur tarif yang terlalu kompleks juga menyulitkan pengawasan oleh otoritas Bea Cukai. Dengan semakin banyak variasi pita cukai yang harus diawasi, maka pengawasan menjadi semakin rumit. Kondisi ini berpotensi membuka celah yang lebih besar bagi peredaran rokok ilegal, yang selama ini menjadi persoalan serius di Indonesia.

Karena alasan tersebut, CISDI mendorong pemerintah untuk fokus pada penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau, bukan menambah jumlah golongan. Mereka merekomendasikan agar struktur tarif disederhanakan menjadi tiga hingga lima layer secara bertahap hingga tahun 2029. Pendekatan ini dirancang untuk memberi kepastian fiskal bagi pelaku usaha sekaligus memperkuat upaya pengendalian konsumsi rokok secara berkelanjutan.

Penambahan golongan bukan solusi, malah memperburuk tantangan pengendalian

CISDI juga menyoroti ketidakkonsistenan arah kebijakan pemerintah dalam pengendalian tembakau. Padahal, pemerintah sebelumnya telah meluncurkan kebijakan cukai multi-year untuk tahun 2023 hingga 2024. Kebijakan ini semestinya bisa diteruskan dan dikembangkan lebih lanjut. Namun, wacana penambahan golongan baru justru menunjukkan adanya langkah mundur yang tidak sesuai dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok.

Penambahan golongan baru dalam struktur tarif cukai hasil tembakau sejatinya bukan solusi, melainkan malah memperburuk tantangan yang dihadapi. Dengan memperumit sistem, celah untuk rokok ilegal semakin besar dan penerimaan negara bisa menurun. Dampaknya, tujuan fiskal dan kesehatan masyarakat yang ingin dicapai pun menjadi terhambat.

CISDI mengajak pemerintah untuk memiliki keberanian dan konsistensi dalam mengambil keputusan strategis yang berpihak pada kepentingan jangka panjang masyarakat. Fokus pada penyederhanaan struktur tarif cukai dan penguatan pengawasan adalah langkah yang lebih tepat daripada menambah kompleksitas sistem cukai saat ini.

Dengan demikian, pengendalian konsumsi rokok dan optimalisasi penerimaan negara dapat berjalan beriringan, mendukung keberlanjutan program kesehatan dan fiskal yang lebih efektif bagi Indonesia.

Simak Juga : Waspada Modus Penipuan Berkedok Rekrutmen, Seleksi CPNS 2025 Segera Dibuka

Similar Posts