Immovesting – Direktur Makro Fidelity, Jurrien Timmer. Ia mengemukakan pandangannya bahwa kini saatnya Bitcoin mengambil alih peran emas sebagai aset utama dalam portofolio investasi. Menurut Timmer, emas kemungkinan akan menyerahkan tongkat estafet kepada aset digital seperti Bitcoin dalam waktu dekat. Pandangan ini muncul seiring dengan perbandingan rasio Sharpe antara kedua aset tersebut.
Rasio Sharpe digunakan sebagai indikator kinerja investasi yang sudah disesuaikan dengan tingkat risikonya. Perhitungan rasio ini didasarkan pada selisih antara imbal hasil suatu aset dengan tingkat pengembalian bebas risiko. Hal ini kemudian dibagi dengan deviasi standar dari imbal hasil aset tersebut. Dengan kata lain, rasio Sharpe mengukur seberapa besar keuntungan yang diterima investor dibandingkan risiko yang harus ditanggung.
Saat ini, Bitcoin tercatat memiliki rasio Sharpe sebesar -0,40. Angka negatif ini menunjukkan bahwa Bitcoin memberikan imbal hasil yang lebih rendah daripada aset bebas risiko, seperti obligasi pemerintah. Sebaliknya, emas memiliki rasio Sharpe sebesar 1,33, menandakan bahwa logam mulia ini mampu memberikan pengembalian lebih tinggi dengan risiko yang relatif lebih kecil dibandingkan Bitcoin. Hal ini juga menjelaskan mengapa dalam periode tahun ini Bitcoin mengalami penurunan sekitar 17% terhadap emas.
Kinerja emas yang lebih unggul belakangan ini banyak didorong oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil. Termasuk kebijakan perang tarif dari Presiden AS Donald Trump yang menciptakan ketidakpastian pasar. Di sisi lain, meskipun Bitcoin sempat menyentuh level USD 98.000 di bursa Bitstamp, kinerja jangka pendeknya masih tertinggal dibandingkan emas.
Baca Juga : Morgan Stanley: Fitur Perdagangan Kripto di Aplikasi ETrade
Namun demikian, Timmer tetap meyakini bahwa investor sebaiknya mempertahankan alokasi pada kedua aset tersebut. Timmer menyarankan rasio kepemilikan 4:1 antara emas dan Bitcoin, karena keduanya memiliki karakteristik dan fungsi yang saling melengkapi. Ia juga menambahkan bahwa Bitcoin memiliki dua sisi kepribadian—sebagai uang keras dan sebagai aset spekulatif—yang membuatnya unik. Ia menggambarkan Bitcoin seperti karakter Dr. Jekyll & Mr. Hyde yang sulit ditebak.
Sejalan dengan pandangan Timmer, CEO Ark Invest, Cathie Wood, juga memberikan prediksi yang cukup mencengangkan mengenai masa depan Bitcoin. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh Yahoo Finance, Wood menyebut bahwa harga Bitcoin berpotensi mencapai USD 2,4 juta per koin pada tahun 2030, atau setara dengan Rp39,7 miliar jika mengacu pada kurs Rp16.574 per dolar. Angka ini mencerminkan potensi kenaikan sekitar 2.426% dari harga saat ini.
Wood menjelaskan bahwa prediksi ini didasarkan pada pendekatan building block valuation model yang dikembangkan oleh Ark Invest. Model ini mengevaluasi potensi adopsi Bitcoin di enam sektor utama selama lima tahun ke depan, lalu menjumlahkan kontribusi dari masing-masing sektor tersebut untuk memperkirakan nilai total Bitcoin di masa depan.
Salah satu pendorong utama dalam proyeksi tersebut adalah meningkatnya arus dana institusional yang masuk ke pasar melalui produk ETF Bitcoin spot. Jika tren ini terus berlanjut dan semakin banyak lembaga keuangan mengalokasikan sebagian dana investasinya ke Bitcoin, maka potensi kenaikan harga akan semakin besar. Dalam prediksinya, Ark Invest memperkirakan bahwa alokasi institusional terhadap Bitcoin bisa mencapai 6,5% dari total portofolio investasi global pada tahun 2030. Ini merupakan angka yang cukup ambisius, mengingat saat ini alokasi yang disarankan masih berada di kisaran 1% hingga 2%.
Secara keseluruhan, baik Fidelity maupun Ark Invest menilai bahwa Bitcoin memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin baru di dunia aset investasi. Meskipun masih menghadapi tantangan volatilitas dan risiko, daya tariknya sebagai aset digital yang langka dan terdesentralisasi terus berkembang. Jika tren adopsi institusional dan penguatan fundamental terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin Bitcoin benar-benar akan menggantikan posisi emas dalam beberapa tahun mendatang.
Simak Juga : Orangtua Perlu Dampingi Anak dalam Mengakses Teknologi AI