
Immovesting – Investasi co-living property kini menjadi salah satu instrumen favorit investor muda yang memburu imbal hasil stabil dari sektor properti sewa.
Lonjakan minat terhadap investasi co-living property didorong perubahan gaya hidup urban dan kebutuhan hunian fleksibel. Generasi muda memilih tinggal bersama di satu hunian dengan fasilitas bersama, namun tetap memiliki kamar pribadi. Skema ini membuat permintaan unit co-living meningkat konsisten.
Selain itu, pola kerja yang semakin mobile membuat banyak profesional muda enggan terikat kontrak sewa jangka panjang. Mereka mencari hunian yang praktis, lengkap furnitur, dekat pusat aktivitas, dan bisa berpindah dengan mudah. Akibatnya, properti dengan konsep co-living menjadi sangat menarik bagi penyewa dan juga investor.
Dalam investasi co-living property, satu unit besar dipecah menjadi beberapa kamar terpisah dengan area komunal. Setiap kamar disewakan per kepala, bukan per unit. Model ini memungkinkan pemilik mengoptimalkan pendapatan per meter persegi dibandingkan sewa apartemen biasa.
Biasanya, penyewa membayar biaya bulanan yang sudah termasuk furnitur, utilitas dasar, internet, serta akses ke fasilitas bersama seperti dapur dan ruang kerja. Sementara itu, operator co-living mengelola proses kurasi penghuni, kontrak, hingga layanan harian. Investor mendapatkan pemasukan pasif dari skema kerja sama bagi hasil atau sewa tetap.
Dibanding sewa apartemen biasa, investasi co-living property menawarkan potensi yield lebih tinggi. Satu unit yang disewakan per kepala dapat menghasilkan total pendapatan bulanan lebih besar daripada disewakan ke satu keluarga. Karena itu, banyak investor mulai mengalihkan sebagian portofolio ke konsep ini.
Selain potensi pendapatan, risiko kekosongan juga lebih tersebar. Jika satu kamar kosong, kamar lain masih terisi dan tetap menghasilkan uang. Meski begitu, pengelolaan bisa lebih kompleks karena berurusan dengan beberapa penyewa sekaligus. Namun, hal ini dapat diatasi dengan menggandeng operator profesional.
Penyewa utama dalam investasi co-living property umumnya profesional muda, pekerja remote, ekspatriat, hingga mahasiswa tingkat akhir. Mereka mengutamakan lokasi strategis, akses transportasi umum, dan komunitas sosial yang positif. Bahkan, banyak yang memprioritaskan lingkungan yang mendukung networking dan produktivitas kerja.
Di kota besar, permintaan co-living tumbuh di sekitar kawasan perkantoran, sentra bisnis, dan kampus. Sementara itu, kenaikan harga properti membuat banyak orang sulit membeli hunian. Co-living menjadi solusi sementara yang terjangkau, sambil tetap memberikan kualitas hidup layak dan fasilitas lengkap.
Langkah awal dalam investasi co-living property adalah menentukan lokasi yang tepat. Cari area dengan konsentrasi perkantoran, kampus, atau pusat kreatif. Pastikan akses transportasi umum mudah, serta lingkungan aman dan nyaman. Setelah itu, hitung potensi yield berdasarkan harga beli, biaya renovasi, dan tarif sewa per kamar di pasar sekitar.
Setelah lokasi dan angka dasar jelas, investor perlu menyiapkan desain ruang yang fungsional. Kamar harus cukup luas, memiliki pencahayaan baik, dan ventilasi memadai. Area komunal seperti dapur, ruang santai, dan ruang kerja bersama harus nyaman dan menarik. Di sisi lain, investor juga harus memperhitungkan biaya furnitur dan peralatan rumah tangga yang memadai.
Baca Juga: Mengapa konsep co-living menjadi kelas aset menarik
Banyak pemilik memilih menggandeng operator agar investasi co-living property berjalan efisien. Operator bertugas mengurus pemasaran, seleksi penyewa, kontrak, hingga layanan harian seperti kebersihan area komunal. Dengan begitu, pemilik dapat fokus pada perencanaan keuangan dan ekspansi portofolio.
Model kerja sama biasanya berupa bagi hasil pendapatan sewa atau skema sewa jangka panjang dari operator ke pemilik. On the other hand, pemilik harus cermat memilih mitra yang memiliki reputasi baik, sistem operasional jelas, serta rekam jejak okupansi tinggi.
Meskipun menjanjikan, investasi co-living property tetap memiliki risiko. Regulasi zonasi hunian, izin usaha, serta aturan kependudukan harus dipahami sejak awal. Selain itu, konflik antar penghuni atau ketidakcocokan gaya hidup bisa memengaruhi kenyamanan dan reputasi hunian.
Investor juga perlu menyiapkan dana cadangan untuk perawatan intensif. Tingkat hunian yang ramai membuat furnitur dan fasilitas cepat aus. Karena itu, pemilihan material dan perangkat berkualitas menjadi penting. Meski begitu, dengan manajemen yang tepat, risiko ini dapat ditekan hingga level yang dapat diterima.
Tren kerja fleksibel dan mobilitas tenaga kerja diprediksi akan terus meningkat. Hal ini mendukung prospek investasi co-living property dalam jangka panjang. Selama kota besar terus berkembang, kebutuhan hunian sewa praktis dan terjangkau akan tetap tinggi.
Untuk memperkuat daya saing, pemilik dapat menambahkan nilai lebih, seperti program komunitas, kegiatan networking, atau fasilitas kerja bersama. In addition, penggunaan teknologi untuk pemesanan, pembayaran sewa, dan layanan penghuni akan menjadi pembeda penting di pasar.
Setelah satu proyek berjalan stabil, investor dapat memperluas portofolio investasi co-living property secara bertahap. Misalnya dengan menambah unit di lokasi berbeda yang menyasar segmen penyewa lain. Pendekatan ini membuat pendapatan lebih terdiversifikasi dan tidak bergantung pada satu titik saja.
Investor juga dapat melakukan rebranding dan peningkatan fasilitas untuk menaikkan tarif sewa. Namun, penting menjaga keseimbangan antara harga dan nilai yang dirasakan penyewa. Dengan manajemen keuangan disiplin dan pemantauan pasar berkala, investasi co-living property berpeluang menjadi sumber pemasukan pasif yang kuat dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, investasi co-living property menawarkan kombinasi menarik antara potensi imbal hasil, permintaan pasar yang kuat, dan pola hidup urban yang terus berkembang, sehingga layak dipertimbangkan dalam strategi keuangan jangka panjang.